Kajian Tim SDM Kesehatan dan Kebencanaan PKMK FK-KMK UGM dalam Adaptasi dan ketahanan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Menghadapi Ancaman Bencana dan Krisis Kesehatan Tahun 2020

Sesi 1

Ni Luh Putu Eka Putri Andayani

Pada sesi pertama Putu menjelaskan mengenai Hasil – Hasil Penelitian kesiapsiagaan Sistem Kesehatan Menghadapi Pandemi COVID-19 Tahun 2020. Penelitian ini berjalan sejak Mei hingga akhir 2020. Cakupan yang terdapat dalam penelitian ini berlokasi di wilayah D.I. Yogyakarta. Dilanjutkan pada 2021 dengan melaksanakan beberapa kegiatan, salah satunya adalah menyusun bagian buku kolaborasi dengan Bappenas dan buku yang disusun di internal UGM yang akan diterbitkan oleh WHO. Latar belakang dari penelitian mengenai Surge Capacity yang dilaksanakan oleh Putu dan tim berangkat dari sistem kesehatan yang mulai kewalahan menangani pandemi COVID-19, dan didukung dengan keadaan pengetahuan yang masih minim. Oleh karena itu riset ini ditujukan untuk melihat sejauh apa kesiapan sistem kesehatan di Indonesia dalam menghadapi lonjakan pasien dengan kerangka system, structure, staff, stuff (4s). Penelitian lain yang diteliti lebih spesifik dalam penelitian ini adalah dari sudut pandang pembiayaan, teknologi digital, manajemen logistik kesehatan, perlindungan SDM Kesehatan, kesiapsiagaan sistem di RS, peran sektor swasta dan dampak kebijakan PSBB. Rangkaian penelitian yang telah disebutkan tersebut mengonfirmasi bahwa sistem kesehatan di daerah masih mampu menangani lonjakan kasus pada skenario moderat akan tetapi tidak untuk skenario terburuk, kemudian saat pandemi terjadi menunjukkan bahwa banyak titik lemah dalam sistem kesehatan yang dimiliki, dan yang terakhir pandemi COVID-19 sebagai bencana kesehatan non-alam membutuhkan penanganan lintas sektor dan keterlibatan masyarakat maka dari itu dibutuhkan kepemimpinan dan sistem komando yang kuat. Melalui kerangka 4S didapati dalam System bahwa banyak riset yang diaksanakan oleh lembaga riset belum optimal untuk mendukung pengambilan keputusan dan pengambilan kebijakan, kemudian penggunaan dana APBN yang terkendala birokrasi di awal pandemi artinya fleksibilitas terhadap penggunaan dana masih kurang di saat pandemi, dan pelaksanaan testing belum mencapai target minimal yang ditetapkan WHO. Secara Structure dapat dilihat bahwa kapasitas dan kompetensi faskes rujukan COVID-19 disiapkan “sambil jalan”, lalu community engagement belum optimal yang artinya peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan masih labil sehingga perlu diwaspadai teradinya pandemic-fatigue. Menurut kerangka Staff, terdapat perlindungan dan insentif yang belum optimal untuk nakes, rekrutmen relawan juga kurang tangkas dipengaruhi oleh distribusi dan jenis nakes yang tersedia. Lalu yang terakhir, secara Stuff di wilayah D.I. Yogyakarta sudah cukup baik akan tetapi hasil penelitian lain di skala nasional menyebutkan bahwa distribusi tidak merata dan ada kesulitan untuk mendapatkan farmalkes tertentu.

Pada poin terakhir terdapat 8 aspek strategis kunci dalam 8 area reformasi SKN 2020-2024. Pertama dari pendidikan dan penempatan nakes, kedua yaitu penguatan FKTP, ketiga peningkatan RS dan Yankes di DTPK, keempat kemandirian farmasi dan alkes, kelima menguatkan keamanan dan ketahanan kesehatan, keenam engendalikan penyakit dan imunisasi, ketujuh Inovasi pembiayaan kesehatan dan yang terakhir optimalisasi teknologi informasi dan pemberdayaan masyarakat.

Sesi 2

Madelina Ariani, SKM., MPH.

Pada pengantar presentasi, Madelina menyampaikan persoalan pendidikan yang terstandar untuk mempersiapkan calon tenaga kesehatan yang adaptif terhadap situasi bencana di masa depan. Terkadang aspek mengenai pendidikan ini terlupakan, padahal ini penting untuk mencapai output yang disebutkan di awal. Calon tenaga kesehatan yang diharapkan adaptif terhadap bencana ini meliputi banyak aspek, mulai dari bagaimana mereka mampu untuk bekerja sama dengan antar profesi, bagaimana calon nakes mampu untuk berbaur dan bekerja sama dengan masyarakat dan bagaimana memimpin di situasi darurat. Bappenas mencatat pembelajaran dari situasi COVID-19 dalam penanganannya perlu ada kapasitas ketahanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, upaya promotif dan preventif dan manajemen respon. Hal ini diwujudkan dalam 8 strategi kunci yang dijelaskan oleh Putu sebelumnya. Pada artikel ini akan lebih fokus pada persiapan di tingkat pendidikannya.

Pertanyaan kajian ini dikembangkan dari Perpres No. 72 Tahun 2012 tentang SKN. Pertanyaan yang pertama diambil dari isu mengenai pengembangan dan pemberdayaan SDM, kemudian perencanaan kebijakan dan program SDM Kesehatan, serta kurang serasinya kebutuhan dan pengadaan SDM Kesehatan. pertanyaannya menjadi apakah hal ini juga untuk situasi bencana alam, non alam dan krisis kesehatan?. Rumusan masalah berikutnya adalah bagaimana dengan kebutuhan materi pendidikan manajemen bencana keseahtan dan rumusan masalah ketiga adalah bagaimana kemampuan SDM Kesehatan bekerja sama dengan masyarakat?. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sumber daya yang lain dapat mendukung/dimanfaatkan oleh SDM Kesehatan dan yang kelima adalah agaimana dengan tata kelola berwawasan manajemen risiko bencana sesuai dengan komitmen Sendai Framework tentang pengurangan risiko bencana?. Terakhir, apakah SKN mampu beradaptasi dan bertahan dengan segala perubahan yang terjadi?.  Pada pertemuan ini akan fokus membahas hasil kajian yang terdapat 5 poin.

Poin pertama adalah mengenai masalah SDM Kesehatan dan bencana alam, non-alam dan krisis kesehatan. berdasarkan hasil reviu, kekacauan yang timbul dalam manajemen bencana kesehatan seringkali terjadi bukan karena kurangnya sumber daya tetapi karena lemahnya koordinasi. Hasil kajian literatur berikutnya juga menunjukkan bahwa mahasiswa atau nakes yang belum pernah memperoleh pendidikan atau pelatihan manajemen bencana akan merasa kebingungan untuk menghadapi situasi kacau saat bencana. Hal inilah yang mendasari Madelina dan tim mengusulkan agar kurikulum pendidikan bagi calon nakes ditambahkan dengan manajemen kebencanaan sebagai. Kemudian, pada poin kedua terdapat fakta bahwa untuk menghadapi lonjakan seperti yang dijelaskan oleh Putu di sesi sebelumnya. Tenaga kesehatan merasa perlu untuk mendapatkan pembelajaran mengenai bencana kesehatan, terutama setelah merasakan dampak dari Pandemi COVID-19 yang terjadi. Lalu untuk poin ketiga, kajian literatur menunjukkan perlunya ada kurikulum manajemen kebencanaan. Titik tolak akan pentingnya manajemen kebencanaan dilaksanakan di Indonesia yaitu pada saat bencana tsunami di Aceh pada 2004. Poin berikutnya setelah tahap menyadari, terdapat tantangan kurikulum pendidikan manajemen bencana kesehatan. Fakultas kedokteran merasa wajib mempersiapkan mahasiswanya untuk menghadapi bencana di masa mendatang dengan pendidikan bencana, namun tantangannya adalah rendahnya kualitas pembelajaran bencana yang dikembangkan. Hal ini tercermin dari status kurikulum yang ditempatkan dalam mata kuliah pilihan atau informal, kemudian dari segi waktu yang terlalu singkat dan tidak ada standar yang sama antar universitas. Poin kelima terdapat fakta bahwa kemampuan tenaga kesehatan pada saat dihadapkan oleh bencana secara langsung merasa kemampuannya masih di taraf moderat. Akibatnya nampak pada kurangnya kemampuan nakes untuk menghadapi fase siap siaga dan lebih banyak di fase respon.

Sesi 3

Bella Donna, M.Kes

Paparan berikutnya membahas Sistem Kesehatan dalam Manajemen Risiko. Presentasi ini merupakan penjelasan dari Policy Brief yang telah disarikan dari materi yang ditampilkan pada sesi sebelumnya oleh Putu dan Madelina. Latar belakang dari Policy Brief ini utamanya mengenai kurangnya tenaga kesehatan di Indonesia. Sementara kecukupan tenaga kesehatan itu dibutuhkan dalam situasi normal dan situasi tidak normal. Di dalam situasi tidak normal seperti pandemi COVID-19 saat ini, ternyata ada satu elemen yang juga dibutuhkan untuk menekan angka penyebaran yaitu masyarakat. Seringnya masyarakat dianggap sebagai kader saja, namun jika diberdayakan tenaga yang mereka miliki dapat membantu. Begitu pula dengan fasilitas kesehatan yang semestinya sebelum terjadinya bencana sudah harus siap dengan hospital disaster plan dan SDM Kesehatan yang mumpuni dari segi kompetensi, jumlah, keamanan, pembiayaan dan sistemnya. Apabila sistemnya sudah siap, maka dalam situasi kesehatan yang tidak normal kemampuannya tetap normal dan bisa mengelola lonjakan serta goncangan dengan prinsip ketahanan. Selain itu diharapkan juga mampu menjamin keberlangsungan organisasi dan sistem kesehatan.

Di dalam manajemen risiko, SDM Kesehatan menjadi poin penting yang ditekankan oleh Bella. Harapannya jika SDM Kesehatan telah terbentuk dengan baik sistemnya, baik kompetensi, sistem komando maka bisa memiliki kapasitas untuk menghadapi lonjakan yang terjadi dalam situasi tidak normal. Rekomendasi yang dianjurkan dalam Policy Brief antara lain adalah mengubah pola pikir yang responsif menjadi preventif dan preparedness, melakukan pemberdayaan untuk semua potensi di masyarakat supaya masyarakat menjadi komunitas yang paham dan aman, meningkatkan kapasitas SDM Kesehatan dan Faskes hingga mencapai ketahanan yang diharapkan, kemudian kurikulum manajemen bencana yang harus diberikan dalam proses pendidikan calon tenaga kesehatan, Peta EMT/SDMK yang teregistrasi di daerah, sistem mobilisasi SDM Kesehatan di daerah tertinggal dan rawan bencana bisa terpenuhi, tata kelola berbasis manajemen risiko dapat mengacu pada Sendai Framework, meningkatkan kerjasama lintas sektor dan pendanaan yang mudah untuk dimobilisasi.

Sesi 4

Nelwan Harahap, S.P -Deputi Bidang Koordinasi Pemeratan Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan Bencana Kemenko PMK

Nelwan mengawali penjelasannya dengan mengungkap mengenai pengaruh bencana pada kualitas kesehatan. Menurut data yang diperoleh, beban penyakit yang diakibatkan cedera meningkat pada tahun 1990 hingga 2017. Dengan menggunakan satuan DALY atau Disability-Adjusted Life Years, satu DALY berarti sama dengan satu tahun hidup yang hilang. Untuk menanggulangi hal tersebut maka pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana yang memuat mengenai hak-hak masyarakat dalam perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan, kemudian pemenuhan kebutuhan dasar bagi pelayanan kesehata, perlindungan untuk kelompok rentan dan rehabilitasi melalui pelayanan kesehatan. Regulasi tersebut saat ini sedang dibuat revisinya.

Rencana induk penanggulangan bencana tahun 2020-2024 sesuai Perpres No. 87 Tahun 2020 yang akan dilaksanakan ada 6 sasaran. Pertama,  mempercepat pemulihan pasca bencana untuk membangun kehidupan yang lebih baik, selain itu ada peningkatan kapasitas dan kapabilitas penanganan kedaruratan bencana yang cepat dan andal, penguatan peraturan perundang – undagan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien, peningkatan sinergi antar K/L dan pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana, penguatan investasi pengelolaan risiko bencana sesuai dengan proyeksi peningkatan risiko bencana dengan memperhatikan tata ruang dan penataan kawasan, dan yang terakhir menguatkan tata kelola penanggulangan bencana yang semakin profesional transparan dan akuntabel. Nelwan juga berharap supaya dalam peningkatan kapabilitas ini, institusi kesehatan dapat membuat rencana kontigensi yang dapat dibakukan kemudian dipraktikkan  untuk mencapai ketahanan kesehatan yang dituju. Ia juga melengkapi penjelasan yang dipaparkan oleh para pemateri sebelumnya, bahwa dalam peningkatan kapasitas minimal tiga hal. Kapasitas penanggulangan yang berupa peningkatan  kolaborasi, tidak hanya regulasi tapi juga implementasi kerja. Kapasitas berikutnya yang perlu dinaikkan adalah masyarakatnya, pertama membangun kesadaran masyarakat, kemudian setelah menyadari dan mengenal ancaman maka perlu diberi pengetahuan. Hal ketiga adalah peningkatan kapasitas daya dukung lingkungan, semakin baik daya dukung lingkungannya maka ancaman bencana semakin tertangani dan risikonya bisa direduksi menjadi lebih kecil.

Terakhir, Nelwan memberikan rekomendasi untuk reformasi sistem kesehatan dalam tiga kelompok, hazard, vulnerability dan capacity. Dalam aspek hazard, hal yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan untuk mencegah dan mendeteksi di pintu masuk negara serta pengendalian penyakit dan imunisasi. Kemudian dalam aspek vulnerability, perlu ada peningkatan faskes dan pelayanan kesehatan di DTPK serta co-sharing pembiayaan kesehatan dengan sumber pembiayaan lainnya. Lalu dalam aspek capacity, perlu ada harmonisasi peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana, pendidikan dan penempatan tenaga kesehatan, penguatan puskesmas dan RS, kemandirian farmasi dan alkes serta tekologi informasi, digitalisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Sesi 5

Dewi Amila Solikha – Staff Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Bappenas

Amila melihat bahwa penelitian yang dilaksanakan oleh PKMK FK-KMK UGM ini mendukung konsep yang telah dikembangkan oleh Bappenas sejak 2020. Dulu ketika belum ada pembelajaran COVID-19 kami membuat studi mengenai hal tersebut kemudian dibukukan dalam studi pembelajaran COVID-19 yang salah satu anggotanya juga berasal dari PKMK. Pada tahun 2021 ini Bappenas lebih fokus kepada koordinasi lintas sektornya yang diharapkan berakhir pada kesepakatan rincian output (RO) dan penganggaran dalam RKP& renja K/L 2022. Setelah itu, terdapat rencana untuk menyusun dan merencanakan reformasi SKN dalam Major Project RKP, untuk itu nanti akan dibuat sistem pengawalan reformasi SKN di dalam sistem KRISNA. Hal yang dikawal tidak hanya strategi tapi juga operasionalisasi yang memiliki alokasi anggarannya. Isu yang saat ini sedang dihadapi adalah tidak semua operasionalisasi dari strategi reformasi SKN ini belum bisa seluruhnya diterjemahkan dalam kegiatan apa saja. Oleh karena itu, Bappenas mengumpulkan saran dari pakar dan akademisi dari berbagai universitas termasuk UGM.

Bappenas juga menanggapi riset yang telah dilaksanakan oleh PKMK FK-KMK UGM. Hal yang perlu dipertajam adalah saat koordinasi lintas sektor, yang dibutuhkan adalah database nakes yang lebih rinci. Tidak hanya jumlahnya yang kurang berapa, tetapi lebih baik jika jumlah idealnya berapa, jenisnya apa, lokasinya dimana, titik locusnya dimana. Hal ini lebih diperlukan oleh nakes itu sendiri. Selain nakes, juga ada pihak non nakes yang membantu dari aspek keuangan dan administrasi yang juga diperlukan oleh nakes. Kemudian dalam penajaman reformasi SKN dalam bidang pendidikan dokter didasarkan pada kebutuhan RS itu sendiri dan di hasilkan oleh RS tersebut. Lalu dari adaptasi pelayanan kesehatan masih diperlukan saran bagaimana aplikasinya yang inovatif. Selanjutnya, mengenai trade off buffer stock  saat bencana ini memang agak tricky sehingga perlu didalami. Obat – obat yang disediakan oleh program nasional pada 2019 lalu berlebihan, karena banyak obat yang tidak real time dilaporkan menyebabkan buffer stock yang ada di gudang farmasi bertambah dan tidak digunakan. Lalu yang terakhir adalah mandatory system informasi penyakit dan sarpras (termasuk logistik) yang berjalan secara real-time.

Reporter: Eurica Wijaya