Tata Kelola Bencana dan Penguatan BNPB

KEBERADAAN Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus diperkuat sesuai misinya dalam kebencanaan, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring penanggulangan bencana.

Hal yang mengundang tanda tanya saat ini adalah hilangnya narasi BNPB dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam usulan perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB) yang sedang dibahas DPR. Pertanyaannya, mengapa pemerintah begitu ngotot menggeser tata kelembagaan pengelolaan bencana pada level peraturan presiden (perpres) dan tidak mau menaikkannya setingkat undang-undang? Kita semua mesti mencermati, bahwa peran BNPB sedang ingin diubah menjadi sebatas urusan kedaruratan. Padahal, kalau pemerintah memahami kebencanaan, pengelolaan bencana sudah menjadi sebuah sistem industri yang sangat besar efek dan kontribusinya terhadap pembangunan.

Peran BNPB justru harus diperkuat mulai dari sebelum kejadian bencana (mitigasi), saat bencana (emergency), maupun setelah kejadian bencana (recovery). Untuk itu, lembaga tersebut membutuhkan berbagai macam kepakaran, instrumen, dan pendekatan serta inovasi. Tata kelola kebencanaan sudah bergeser dari sekadar pertolongan saat bencana (emergency) menjadi sebuah pendekatan yang transdisiplin yang memerlukan perencanaan yang matang dan terukur.

Jadi, upaya penanggulangan bencana adalah sebuah sistem yang terdiri dari subsistem pengurangan risiko, subsistem penanggulangan keadaan darurat bencana dan subsistem pemulihan pascabencana. Ketiga subsistem tersebut memerlukan beragam pendekatan agar risiko dan bahaya dapat diminimalkan. Pendekatan yang dipilih tentu harus didukung oleh keilmuan yang berbeda, pihak yang beragam, serta kebijakan yang juga tidak sama.

Dalam konteks kekinian pendekatan tersebut dikenal dengan transdisciplinary approach. Transdisiplin meliputi keilmuan, kelembagaan, pendekatan dan teknik, teknologi dan inovasi yang mendukungnya, serta keberpihakan kebijakan sektoral.

Transdisiplin Sains
Pada forum diskusi yang diadakan di kantor CSIS pada 11 Desember 2018, Surono, ahli vulkanologi berpendapat, “Jika ada seorang yang akan menjadi profesor gunung api, maka harus pernah meneliti di Indonesia.” Pesan pertama yang ingin disampaikan adalah Indonesia merupakan negara paling kaya gunung api di dunia, termasuk yang tergolong aktif. Pesan kedua adalah bahwa masih sangat terbatas ahli yang mau menekuni dan mempelajari setiap karakter gunung api tersebut.

Jika dicermati, makna dari pesan “Mbah Rono” tersebut adalah kita butuh banyak orang dengan beragam ilmu dalam mengungkap informasi tentang gunung api, sehingga dengan begitu bisa diupayakan mitigasi yang baik dengan aneka inovasi.

Secara holistis, luas sekali dimensi ilmu yang diperlukan untuk mitigasi bencana, dari geologi, oseanografi, vulkanologi, topografi dan sosial budaya, serta meteorologi. Dalam hal kebencanaan, yang diperlukan adalah sense terhadap upaya mitigasi bencana. Begitu juga kebutuhan ilmu dan teknologi untuk adaptasi agar dampak dan risiko bencana dapat diminimalkan.

Begitu juga saat kejadian dan pascabencana, perlu ilmu tentang struktur ekosistem, bangunan yang tahan bencana, serta kemampuan masyarakat memulihkan trauma pascagempa. Belum lagi potensi bencana sosial akibat teknologi informasi, akibat keterbatasan pendidikan, dan kekurangan gizi akibat ketimpangan penghasilan, akibat akses yang jauh dan pendapatan. Kompleksitas ini cukup untuk menggambarkan bahwa kebencanaan bukan sekadar tanggap darurat, tapi satu kesatuan sistem yang memerlukan beragam ilmu, beragam tingkat lembaga dan jenis teknologi dan inovasi, beragam pendekatan dan beragam kepakaran.

Perlu dipahami bahwa keberhasilan kita dalam meminimalkan risiko, dampak, bencana akan memberikan rasa aman bagi investor dalam berinvestasi. Untuk itu, penting dan sangat mendesak melakukan penguatan kelembagaan BNPB, bukan mengerdilkannya. Penulis berpandangan seharusnya kelembagaan BNPB harus dinaikkan setingkat menteri, bukan melalui perpres.

Afirmasi Kebijakan
Masa kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo seharusnya dimanfaatkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh apabila risiko dan dampak bencana bisa diminimalkan. Meminimalisasi risiko dan dampak bencana harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kegagalan deteksi tsunami Palu dan Selat Sunda adalah bagian dari pembelajaran yang tidak boleh lagi terjadi. Setiap lembaga atau badan merasa benar dengan data dan mekanisme serta gaya kerja masing-masing.

Untuk itu, penulis yakin hal penting yang diperlukan adalah pertama, perlu sistem satu komando dari semua badan, dan lembaga terkait kebencanaan, termasuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dalam manajemen data kebencanaan. Kedua, perlu kebijakan pengembangan sains dan teknologi berbasis bencana. Ketiga, perlu kebijakan keuangan dan tata kelola manajemen kebencanaan.

Pertama, mengapa penting menempatkan sistem data sebagai ruh manajemen kebencanaan? Sebagai sektor basis yang diperlukan untuk mendukung sektor ekonomi, maka data kebencanaan harus dalam satu komando dan satu ruang kendali. Informasi iklim, oseanografi, geologi bekerja serentak dalam satu sistem data terintegrasi (Big Data). Perubahan iklim dalam ruang spasial dinamik, termasuk darat dan laut menjadi data realtime dari pusat data. Begitu juga informasi curah hujan yang berpotensi menyebabkan longsor, banjir, dan angin kencang. Kemudian juga peta rawan kering dan bencana kebakaran. Satu komando dalam perencanaan, mitigasi, tindakan penanggulangan dan perbaikan menjadi penting dalam manajemen bencana.

Kedua, afirmasi kebijakan pengembangan sains, ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan. Sains kebencanaan adalah sebuah berkah sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan Indonesia. Keberadaan gunung api, palung dan lempeng laut, sungai, posisi di dua lintang, struktur batuan, sejarah dan budaya menjadi laboratorium alam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kebencanaan.

Afirmasi ketiga adalah keuangan dalam manajemen kebencanaan. Alokasi dana dalam skema pooling fund sebesar Rp1 triliun dan usulan Rp15 triliun untuk Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) harus dirancang sesuai kebutuhan dan kemanfaatan. Kelembagaan yang terlibat dan aktif dalam riset kebencanaan dan penanggulangan bencana sangat banyak. Dengan keberadaan satu ruang manajemen kebencanaan, maka secara otomatis akan memperkuat sistem kerja kebencanaan dengan dana tersebut.

Dalam konteks rencana perubahan koordinasi fungsi lembaga BNPB, penulis melihat ada upaya untuk melemahkan dan mengecilkan peran dan fungsi lembaga kebencanaan karena akan muncul dualisme. Peran BNPB seharusnya tidak hanya ke dalam ruang tanggap darurat, tetapi juga jaminan keselamatan dari risiko dan kejadian bencana.

Trandisiplin manajemen kata kuncinya adalah sistem manajemen yang kuat, dari mitigasi, aksi cepat tanggap dan rehab rekonstruksi. Ini harus diemban lembaga setingkat menteri. Penunjukan Letjen Doni Monardo menjadi Kepala BNPB akan sangat tepat dengan kualitas dan kapasitasnya jika yang bersangkutan menjalankan kelembagaan setingkat meteri daripada lembaga teknis di bawah kementerian koordinator. Investor juga akan merasa aman berinvestasi jika kelembagaan urusan kebencanaan setingkat meteri.

Tata ulang pengelolaan bencana memerlukan penguatan BNPB, bukan justru mengerdilkannya.

Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB)