Tingkat Kematian Akibat Covid-19 di Indonesia Capai 36 Persen, Ini Penyebabnya

KOMPAS.com – Pemerintah mengatakan secara nasional terjadi peningkatan kasus kematian akibat Covid-19 mencapai 36 persen.

Hal ini pun dibenarkan oleh Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin (Unhas), Irwandy, SKM, MScPH, MKes.

Irwandy bahkan menyebut bahwa jumlah kematian akibat Covid-19 di luar Pulau Jawa juga meningkat.

“Benar, angka kematian di Bulan Juli ini sangat tinggi, bahkan trendnya mulai bergeser ke daerah-daerah di Luar pulau Jawa juga saat ini,” kata Irwandy kepada KOmpas.com, Kamis (29/7/2021).

“Pemerintah dan pemerintah daerah harus waspada.”

Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email

Irwandy berkata, menurut data Covid-19 di Indonesia hingga Rabu, 28 Juli 2021, tingkat kematian kasus (case fatality rate) adalah 2,70 persen.

Angka tersebut lebih tinggi dibanding angka rata-rata dunia (2,14 persen) dan tingkat kematian kasus di Asia (1,44 persen).

Tingkat kematian yang sangat tinggi ini, menurut Irwandy, tak lepas dari sistem kesehatan kita yang tidak siap.

“Penyebab tingginya angka kematian saat ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tapi persoalannya sudah sistematik. Sistem kesehatan yang tidak siap,” ungkap Irwandy.

Irwandy menjelaskan, sistem kesehatan itu tidak hanya menyangkut rumah sakit, tapi seluruh sistem kesehatan mulai dari sistem pelayanan kesehatan dasar dan lanjutan, obat dan perbekalan kesehatan, sistem informasi kesehatan, SDM kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, untuk menekan jumlah kematian akibat Covid-19 adalah dengan memperbaiki dan menyiapkan seluruh sistem kesehatan kita.

“Penataan sistem kesehatan kita saat ini dibutuhkan khususnya dalam menghadapi lonjakan-lonjakan kasus berikutnya yang berpotensi akan bisa terjadi lagi dan lebih besar jika kita lengah,” ungkapnya.

Foto udara petugas pemulasaraan berada di area pemakaman khusus COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (15/7/2021). Berdasarkan data Worldometer, Indonesia resmi masuk empat besar kasus aktif COVID-19 terbanyak di seluruh dunia, pada Kamis (15/7/2021) kasus aktif di Indonesia mencapai 480.199 kasus, melampaui Rusia yang tercatat 457.250 kasus, Indonesia juga jauh melampaui India yang tercatat 432.011 kasus. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT Foto udara petugas pemulasaraan berada di area pemakaman khusus COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (15/7/2021). Berdasarkan data Worldometer, Indonesia resmi masuk empat besar kasus aktif COVID-19 terbanyak di seluruh dunia, pada Kamis (15/7/2021) kasus aktif di Indonesia mencapai 480.199 kasus, melampaui Rusia yang tercatat 457.250 kasus, Indonesia juga jauh melampaui India yang tercatat 432.011 kasus. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

Banyaknya pasien isoman yang meninggal

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada 22 Juli 2021, Said Fariz Hibban, Analis Data LaporCovid-19, menyebutkan bahwa terdapat 2.313 korban jiwa akibat isolasi mandiri.

Data ini didapatkan dari rekapan kematian yang dilakukan oleh LaporCovid-19 untuk periode 1 Juni hingga 21 Juli 2021.

Irwandy mengatakan, banyaknya pasien isolasi mandiri yang meninggal juga merupakan akibat dari sistem kesehatan yang tidak siap.

“Di mulai dari terlambatnya sistem pelacakan kasus kita menemukan individu tersebut, beberapa ditemukan pada saat kondisi pasien sudah parah,” kata dia.

Sementara itu, kata Irwandy, banyak dari pasien isoman yang memerlukan pelayanan rumah sakit, beberapa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses layanan rumah sakit.

“Di samping karena penuh, mungkin juga karena kesulitan akses dan informasi sehingga tidak tahu harus mencari ke mana,” imbuhnya.

Selain sistem kesehatan yang tidak siap, Irwandy juga menilai sub sistem kesehatan pemberdayaan masyarakat kita gagal.

Dia menilai, peran serta masyarakat sekitar untuk mendukung mereka yang sedang melakukan isolasi mandiri juga masih rendah.

“Padahal peran serta masyarakat dibutuhkan, mulai dari dukungan sosial ekonomi hingga bantuan moril,” ujarnya.

Di lapangan, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang merasa takut untuk mengungkapkan kepada lingkungan sekitarnya bahwa mereka sedang terinfeksi dan sedang melakukan isolasi mandiri, akibat stigma negatif yang masih melekat di masyarakat.

“Saya kira kedepannya, isolasi mandiri ini harus benar-benar diperketat,” tegas Irwandy.

Dia berkata, pemerintah harus memastikan bahwa mereka yang melakukan isolasi mandiri benar-benar layak, baik itu dari segi kondisi kesehatan, rumah tempat isoter, hingga dukungan keluarga dan lingkungan sosial.

“Dan harus ada sistem untuk dapat memonitor mereka secara terus menerus,” sambungnya.

Baca juga: Testing Covid-19 Sempat Berkurang, Epidemiolog: Seharusnya Sejuta Per Hari untuk Tekan Angka Kematian

Namun, jika pemerintah atau pemerintah daerah tidak mampu memastikan hal tesebut, Irwandy menyarankan untuk mengisolasi pasien bergejala ringan dan tidak bergejala secara terpusat.

“Ini akan lebih efektif dan aman untuk ditempuh demi mencegah semakin banyaknya kasus kematian serta membantu mengurangi pemakaian tempat tidur rumah sakit,” kata Irwandy.

Dia mengingatkan, tugas pemerintah pusat saat ini memastikan bahwa isoter-isoter yang dikembangkan oleh berbagai pemerintah daerah saat ini benar-benar telah sesuai standar kelayakan, kenyamanan dan keamanan baik bagi pasien, petugas kesehatan dan masyarakat.