Situasi COVID-19 Perlu Dilihat dari Kapasitas Sistem Kesehatan Masing-Masing Negara

Liputan6.com, Jakarta Dalam melihat atau menilai kondisi COVID-19 di suatu negara maka perlu ditinjau dari kapasitas sistem kesehatan masing-masing negara. Pasalnya, setiap negara memiliki karakteristik berbeda.

Menurut ahli epidemiologi Dicky Budiman, dalam sistem kesehatan suatu negara ada manajemen data yang bergantung pada kemampuan deteksi yang dalam hal ini adalah testing dan tracing.

Kemampuan mengumpulkan data di negara maju dan berkembang juga berbeda. Contohnya, ketika melihat kasus kesakitan, jika di negara maju maka data ini akan mudah dilihat di rumah sakit. Pasalnya, karakteristik masyarakat di negara maju yang cenderung segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan ketika sakit.

“Berbeda dengan negara berkembang, misalnya Indonesia yang 70 persen masyarakatnya akan mengobati diri sendiri di rumah ketika sakit ketimbang harus pergi ke fasilitas kesehatan,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Selasa (31/5/2022).

Maka dari itu, kasus di rumah sakit yang terbilang rendah terutama di negara berkembang tak serta merta menandakan bahwa kasus COVID-19 di negara itu secara keseluruhan rendah pula.

“Kalau bicara waktu Delta itu adalah fenomena gunung es, di balik itu kematian dan kesakitan di rumah banyak sekali. Nah itu harus dipahami, data itu ada kualitatif ada kuantitatif.”

Data Kasus Kematian

Dicky juga membahas terkait perbedaan data kasus kematian di negara maju dan negara berkembang.

“Kalau di negara maju tidak ada satupun kematian yang tidak teregistrasi (tidak terdata), kalaupun ada sangat kecil persentasenya. Kematian di negara maju akan dicatat penyebabnya, jika tidak diketahui maka akan diotopsi.”

“Misalnya, saya tinggal di Australia, tetangga saya meninggal, dia harus dibawa ke forensik dulu sebelum dimakamkan. Jadi tidak ada kematian yang tidak tercatat penyebabnya.”

Hal ini berbeda dengan negara berkembang atau negara miskin. Di negara ini, banyak kematian yang tidak teregistrasi. Atau teregistrasi hanya sebatas keterangan meninggal, bukan secara mendalam hingga ke penyebab kematiannya.

“Itulah yang harus menjadi latar belakang untuk memahami suatu situasi (pandemi) antar negara. Dunia ini memiliki ketimpangan dalam masalah data. Dan di masyarakat situasi (COVID) ada perbaikan memang iya serta cakupan vaksinasi memang lebih baik, tapi virulensi virus tidak melemah,” ujar Dicky.

Virus Tidak Melemah

Sebelumnya, Dicky menyampaikan, berbeda dengan harapan dan anggapan masyarakat, riset menunjukkan virus Corona penyebab COVID-19 tidak melemah.

Menurutnya, alih-alih melemah, virus ini malah menguat dan menurunkan efikasi antibodi.

“SARS-CoV2 tidak melemah, bahkan menguat dan menurunkan efikasi antibodi. Vaksinasi, masker, dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) penting dijaga,” katanya.

Ia menambahkan, rata-rata data menunjukkan kekebalan vaksin setelah dua dosis menurun di 4 sampai 6 bulan. Pada dosis ketiga, penurunannya lebih lambat.

“Namun, belum diketahui seberapa cepat (penurunannya) tapi yang jelas dibandingkan 2 dosis, yang 3 dosis itu lebih lambat sehingga semakin kuat arahnya bahwa vaksinasi penuh itu di 3 dosis.”

Pandemi belum berakhir dan virusnya tidak melemah, bahkan varian BA.4, BA.5 terdeteksi bisa menginfeksi lebih serius di paru, lanjutnya. Ada pula karakter dari BA.4 dan BA.2.12.1 yang bisa mereinfeksi walaupun sudah terinfeksi oleh varian Omicron dan sub-varian lainnya. Ini bisa serius dan menandakan bahwa situasi belum aman.

“Vaksinasi tiga dosis menjadi sangat penting. Memang sekarang ada pelonggaran-pelonggaran, tapi perilaku hidup bersih sehat itu sudah harus menjadi budaya disertai perbaikan infrastruktur dan penguatan surveilans, dan deteksi harus kita perbaiki.

sumber: https://www.liputan6.com