Empat Alasan Batalkan Vaksinasi Berbayar

JAKARTA, 11 JULI 2021 – Juru Bicara Kementerian Kesehatan, pada Minggu, 11 Juli 2021, menyatakan bahwa vaksin Covid-19 dapat diakses individu secara berbayar mulai Senin, 12 Juli 2021. Penjualan vaksin secara eceran itu dimungkinkan setelah Kementerian Kesehatan mengubah definisi Vaksinasi Gotong Royong (VGR) melalui Permenkes 19/2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes 10/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Wakil Menteri BUMN berdalih bahwa VGR individu dilaksanakan untuk mempercepat tercapainya kekebalan komunal (herd immunity).

Meskipun terdengar seperti kabar baik, pelaksanaan vaksinasi berbayar untuk individu tersebut merupakan tindakan yang tidak sensitif terhadap situasi genting di tengah penyebaran Covid-19 yang tak terkendali saat ini serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sejumlah persoalan terkait rencana VGR individu akan diuraikan sebagai berikut.

Pertama, perubahan definisi VGR dilakukan tanpa proses yang transparan dan partisipatif. Sebelumnya, Pasal 1 angka 5 Permenkes 10/2021 dan perubahannya (Permenkes 18/2021) mendefinisikan VGR sebagai pelaksanaan vaksinasi kepada karyawan dan keluarganya yang pendanaannya dibebankan kepada badan hukum/badan usaha. Namun, Permenkes 19/2021, pada pasal yang sama, memperluas definisi itu dengan memasukkan individu sebagai penerima VGR yang pendanaannya dibebankan kepada individu yang bersangkutan.

Perubahan definisi tersebut bertentangan dengan sikap kritis masyarakat sejak awal 2021 yang menolak skema vaksinasi berbayar. Selain itu, proses perubahan Permenkes yang dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga diindikasikan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) Permenkes 1/2020 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Pasal itu mewajibkan dilakukannya uji kelayakan dalam proses penyusunan rancangan Permenkes.

Instrumen uji kelayakan yang menjadi bagian lampiran dari Permenkes 1/2020 tersebut mencantumkan keharusan pelaksanaan uji publik serta pelibatan pemangku kepentingan dalam proses pembahasan rancangan Permenkes. Sulit bagi publik untuk mempercayai bahwa Permenkes 19/2021 telah memenuhi aspek transparansi dan partisipatif tersebut mengingat para epidemiolog dan praktisi kesehatan justru banyak yang menolak skema vaksinasi berbayar.

Kedua, kebijakan vaksinasi berbayar ditetapkan tanpa proses sosialisasi yang layak. Naskah Permenkes 19/2021 baru tersedia di situs web Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu, 11 Juli 2021, sore hari. Sebelumnya, naskah tersebut hanya beredar melalui jalur tidak resmi pesan berantai dan hingga kini masih belum tersedia pada direktori regulasi pada situs web Kementerian Kesehatan. Padahal, peraturan itu telah ditetapkan pada 5 Juli 2021 dan diundangkan pada 6 Juli 2021. Hal itu tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Permenkes 1/2020 yang mengharuskan Permenkes yang telah diundangkan untuk disebarluaskan secara resmi melalui media cetak dan/atau elektronik.

Ketiga, kebijakan vaksinasi berbayar menunjukkan pemerintah berusaha melepaskan tanggung jawab di tengah kondisi darurat kesehatan masyarakat. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, hingga awal Juli 2021, jumlah penduduk Indonesia yang telah divaksinasi dosis lengkap hanya sekitar 14 juta orang atau 5,4 persen dari total jumlah penduduk. Selain itu, jumlah tenaga medis dan tenaga kesehatan yang belum mendapatkan vaksin masih mencapai belasan ribu orang, dengan jumlah tertinggi pada provinsi-provinsi terluar, seperti Aceh dan Papua.

Dengan tingkat ketercapaian vaksinasi yang rendah serta tingkat penularan Covid-19 yang semakin tidak terkendali, pemerintah seharusnya memaksimalkan sumber daya yang dimiliki untuk menggencarkan Pelayanan Vaksinasi Program yang telah diatur dalam Permenkes 10/2021, bukan justru mencari keuntungan dengan melaksanakan vaksinasi berbayar melalui VGR individu.

Pada prinsipnya, dalam situasi wabah, seluruh upaya penanggulangan wabah—termasuk program vaksinasi—menjadi tanggung jawab negara. Hal itu sesuai yang diatur dalam Pasal 10 UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Penjelasan pasal itu juga menyebutkan bahwa biaya yang diperlukan dalam penanggulangan wabah ditanggung oleh pemerintah pusat, dengan tidak mengurangi kewajiban pemerintah daerah, swasta atau masyarakat. Pengaturan itu harus dipahami bahwa pelaksanaan program vaksinasi, pada dasarnya, adalah kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pusat.

Keempat, kebijakan vaksinasi berbayar berpotensi hanya menguntungkan golongan masyarakat dengan level ekonomi menengah ke atas. Hal itu jelas bertentangan dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa terkecuali. Selain itu, akses terhadap vaksin melalui skema berbayar juga tak sejalan dengan Pasal 28H ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menjamin setiap orang mendapatkan hak pelayanan kesehatan serta kemudahan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Dengan skema berbayar, terlebih dengan tarif yang relatif tinggi, VGR individu jelas tidak ditargetkan untuk masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah. Padahal, hasil survei yang dirilis Dinas Kesehatan DKI, FKM UI, dan Lembaga Eijkman Indonesia, menunjukkan bahwa tingkat infeksi Covid-19 lebih banyak terjadi pada wilayah permukiman kumuh yang mayoritas dihuni oleh masyarakat dengan level ekonomi menengah ke bawah. Dengan demikian, perluasan akses vaksinasi seharusnya diprioritaskan pada golongan masyarakat yang lebih berpotensi terinfeksi Covid-19, yaitu masyarakat miskin.

Selain itu, keberadaan VGR individu juga berpotensi semakin melebarkan kesenjangan antara kelompok yang sudah divaksinasi dan belum divaksinasi. Permenkes 19/2021 tidak mengatur secara spesifik batasan atau persyaratan untuk mengakses VGR individu. Di lapangan, hal itu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang telah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap sebelumnya tetapi ingin mendapatkan VGR sebagai booster. Dengan pengawasan yang minimal pada tataran pelaksanaan, hal demikian akan berpotensi besar terjadi dan menyebabkan kelompok masyarakat yang belum terlindungi akan semakin sulit mengakses vaksin.

Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pemerintah melalui Menteri Kesehatan harus mencabut Permenkes 19/2021 serta membatalkan rencana pelaksanaan VGR individu.
2. Pemerintah harus mengevaluasi kembali efektivitas pelaksanaan VGR untuk badan hukum/badan usaha sebagaimana diatur dalam Permenkes 10/2021 dan perubahannya (Permenkes 18/2021).
3. Pemerintah harus memfokuskan dan hanya melaksanakan Pelayanan Vaksinasi Program bebas biaya sebagaimana diatur dalam Permenkes 10/2021 dengan cara memaksimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memastikan perluasan jangkauan vaksinasi sesegera mungkin.
4. Pemerintah harus berfokus pada penanganan situasi darurat kesehatan masyarakat dengan cara memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan, seperti membuka rumah sakit lapangan, mengendalikan harga obat-obatan dan oksigen, serta menegakkan aturan protokol kesehatan dengan konsisten.
5. Pemerintah harus melibatkan para ahli di bidang kesehatan masyarakat, kedokteran, maupun ahli-ahli di bidang lain yang relevan, serta mengedepankan pendekatan berbasis bukti ilmiah dalam setiap proses pengambilan kebijakan terkait penanganan kondisi darurat Covid-19.
6. DPR harus menggunakan fungsi pengawasannya untuk mengevaluasi kebijakan vaksinasi berbayar serta mendesak Presiden untuk memerintahkan Menteri Kesehatan membatalkan Permenkes 19/2021 sebelum dilaksanakan di lapangan.

Narahubung:

Rizky Argama, Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK (0812-1983-193)

Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK (0818-100-917)